Adam Aththaariq
6510051498749449419

Sejarah Sumpah Pemuda 1928, Ketika Pemuda Menjahit Peradaban

Sejarah Sumpah Pemuda 1928, Ketika Pemuda Menjahit Peradaban
Add Comments
Selasa, Oktober 28, 2025

Penulis: Adam Aththaariq

RUAS, Ciamis — Sumpah Pemuda adalah momen penegasan identitas kolektif yang dilafalkan oleh para pemuda pada Kongres Pemuda II tahun 1928.

Ikrar yang berisi tiga butir ini: a) mengakui satu tanah air, b) satu bangsa, dan c) menjunjung satu bahasa persatuan, menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan pergerakan kemerdekaan dan pembentukan gagasan kebangsaan modern di Indonesia.

Sumber-sumber arsip dan kajian historis menempatkan peristiwa ini sebagai titik temu konsensus nasionalisme generasi muda pada akhir 1920-an.

SEJARAH DAN PERGOLAKAN

Sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, para pemuda terlebih dahulu menyelenggarakan Kongres Pemuda I pada 30 April–2 Mei 1926 di Batavia. Kongres tersebut bertujuan untuk menyatukan pandangan berbagai organisasi kepemudaan guna membangun landasan persatuan bangsa Indonesia yang setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Dua tahun setelahnya, Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) menjadi penggagas diselenggarakannya Kongres Pemuda II yang berlangsung pada 27–28 Oktober 1928. Susunan panitia kongres tersebut terdiri atas:

  • Ketua: Soegondo Djojopoespito (PPPI)
  • Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
  • Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond)
  • Bendahara: Amir Sjarifoeddin (Jong Bataks Bond)
  • Anggota: Djohan Mohammad Tjai, R. Katjasoengkana, R.C.L. Senduk, Johannes Leimena, dan Mohamad Rocjani Soe’oed.
Pada awal abad ke-20, di tengah penindasan dan ketidakadilan sosial yang ditimbulkan oleh pemerintahan kolonial Belanda, muncul kesadaran baru di kalangan rakyat Indonesia tentang pentingnya persatuan. Dari berbagai daerah di Nusantara, para pemuda terpelajar mulai menumbuhkan semangat kebangsaan dan tekad untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Mereka percaya bahwa kebebasan hanya dapat diraih melalui persatuan seluruh elemen bangsa. Gerakan nasional di berbagai negara, serta kenangan akan kejayaan masa lampau seperti Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, menjadi sumber inspirasi yang menguatkan keyakinan mereka untuk bangkit dan berjuang bersama.

Jalannya Kongres Pemuda II

Kongres Pemuda II dilaksanakan pada akhir Oktober 1928 dalam tiga sesi yang diselenggarakan di gedung-gedung berbeda.

  1. Rapat pertama yang digelar di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond pada 27 Oktober 1928 membahas pentingnya membangun persatuan bangsa. Dalam kesempatan itu, Mohammad Yamin menekankan bahwa kesamaan dalam budaya, bahasa, dan hukum adat merupakan fondasi utama bagi terwujudnya persatuan Indonesia.
  2. Rapat kedua berlangsung pada 28 Oktober 1928 pagi di Gedung Oost-Java Bioscoop, dengan pokok bahasan mengenai pentingnya pendidikan yang mampu membentuk karakter nasional serta menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air.
  3. Sementara itu, rapat ketiga diadakan pada 28 Oktober 1928 sore di Gedung Indonesische Clubgebouw Kramat, yang menyoroti peran gerakan kepanduan dalam memperkuat semangat kebersamaan di antara para pemuda.

Pada sesi penutupan kongres, sebelum keputusan dibacakan, lagu “Indonesia Raya” ciptaan Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya diperdengarkan di hadapan seluruh peserta. Setelahnya, diumumkan hasil keputusan kongres yang berisi ikrar persatuan bangsa, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Makna Simbolik

Secara simbolik, Sumpah Pemuda menegaskan dua aspek: formalisasi nama dan identitas politik “Indonesia” serta konsensus akan perlunya bahasa bersama sebagai alat pemersatu.

Bahasa Indonesia, yang pada masa itu masih berkembang dari bahasa Melayu, diangkat sebagai bahasa persatuan yang memungkinkan komunikasi antar-suku dan wilayah yang sangat beragam.

Peristiwa ini kemudian dirayakan setiap 28 Oktober dan dimaknai sebagai inspirasi bagi generasi muda untuk menjadikan perbedaan sebagai kekayaan, bukan sumber perpecahan.

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959, tanggal 28 Oktober ditetapkan sebagai Hari Nasional.

Narasi yang Sering Terlupakan

Meskipun Sumpah Pemuda diperingati sebagai momen persatuan, penting untuk membaca peristiwa ini secara kritis.

Pertama, konsensus yang tercapai pada 28 Oktober bukanlah titik temu yang terbentuk tanpa gesekan: proses sebelumnya (termasuk Kongres Pemuda I dan berbagai perdebatan organisasi pemuda) memperlihatkan perbedaan tajam soal istilah, taksonomi politik, dan strategi.

Kedua, fokus pada tiga butir ikrar ini berisiko menyederhanakan perbedaan sosial-politik yang kompleks, misalnya soal akses pendidikan, representasi perempuan, dan perbedaan ekonomi antardaerah yang tidak serta-merta terselesaikan hanya karena ada kesepakatan simbolik.

Ketiga dan terakhir, narasi nasional sering mengabaikan bagaimana tokoh-tokoh, kelompok kepemudaan tertentu, dan keterbatasan sumber menaruh pengaruh lebih besar dalam penulisan sejarah daripada aktor-aktor lokal yang kurang terdengar.

Referensi: