Adam Aththaariq
6510051498749449419

Aku adalah Jelata: Ribuan Kali Kegagalan yang Tertawa

Aku adalah Jelata: Ribuan Kali Kegagalan yang Tertawa
Add Comments
Selasa, Januari 14, 2025
Pikbest.com/ramzanrj23
Penulis: Adam Aththaariq

    Malam itu penuh isak yang sedu-sedan, aku tersipu dalam lorong-lorong dapur yang kumuh dan berlumut karena aku telah kandas. Sejenak aku berkata dengan lirih, “apakah kulit bersisik tak cukup menggambarkan perjuanganku?” Sebuah pertanyaan yang lebih terdengar seperti ratapan.

    Malam itu, aku memutus koneksi dengan dunia maya yang memicu kandasnya perjuanganku. Sesuatu di dalamnya telah merenggut. Aku terhubung dengan diriku — tanpa pemisah, tanpa distorsi. Hanya aku dan diriku yang tertawa mengingatkanku bahwa mungkin akan ada yang mencari-cari seorang jelata ini walau hanya sedikit. Aku hanya ingin bebas berekspresi dengan ayunan jemari yang mengetuk tuts tanpa terkecoh.

    Sesaat sebelumnya, saat aku masih terhubung dengan koneksi dunia maya. ‘Seseorang’ yang kata-katanya merusak seperti hujan meteor yang tak kenal henti mencari bayang di mana aku mungkin berpaling seolah tak ingin kuterlepas dari genggamannya. Ialah seorang yang tak kenal waktu untuk mengusik hatiku.

    Sejak malam itu, aku tak lagi dapat berkata-kata untuk memikirkan bagaimana dirinya menuntut, seperti hakim memvonis seorang pembunuh dengan dentuman palu yang menggema. Ribuan perjuanganku seolah sirna hanya karena aku mencetuskan satu kesalahan tak berarti. Sesaat kemudian hatiku menggelegak. “Luar biasa, aku tak lagi dapat memahami bagaiamana cara ia berpikir,” gumamku dengan nada yang tajam.

    Kini aku berada di teras rumah, tempat yang sama lusuhnya dengan dapur tadi. Hatiku berberaian bagaikan bayi yang terberak. Gemuruh petir menggema seolah memikirkan nasibku, sejenak aku memandang langit yang gelap gulita melukis gambaran kesedihanku. Petir menyambar pohon tua di samping rumahku, gemuruh petir itu meledak di langit, menggema seperti dentuman palu hakim yang menghantam meja pengadilan dengan amarah. Aku mulai melangkah menghampiri pohon tua — penasaran — batangnya hitam dan hangus, “dari sekian banyaknya pohon dan pucuk rumah yang tinggi, kenapa pohon itu yang dipilih?” Aku berasumsi, seoalah petir tak mengenal ketinggian, ia akan menggencarkan amarahnya kepada siapa saja yang ia mau.

    Dalam pohon tua itu aku melihat diriku sendiri. Tersambar, terbakar, hangus, tetapi tetap berdiri — meski luka menganga di mana-mana. Sejenak teringat kata-kata ‘seseorang’ yang meluruhkan hati bak meteor yang merusak, aku rasa ini adalah pertanda bahwa aku pernah berdiri cukup tinggi untuk menarik perhatian “petir”.

    Aku kembali ke dapur yang kumuh, seolah membawa serpihan kepastian. Aku tahu, meski aku adalah seorang jelata yang kulitnya bersisik dan penuh hangus, aku tetap layak berdiri tegak. Bahkan ketika dunia tak selalu memihak, aku adalah pohon tua yang masih berdiri, menantang hujan dan petir berikutnya.

Bersambung  Karya ini telah terbit di series Celotehan Dapur Kumuh.