Penulis: Yazid Permana
Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman masyarakat tentang hukum waris Islam di tingkat desa masih menjadi tantangan tersendiri. Di Dusun Cipurut, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis, sistem pembagian warisan telah diterapkan menurut kompilasi hukum Islam. Namun dalam praktiknya, banyak elemen lokal dan budaya yang mempengaruhi pemahaman dan pelaksanaan aturan tersebut.
Kondisi Sosial dan Budaya Dusun Cipurut
Dusun Cipurut merupakan salah satu dari empat dusun di Desa Cisaga, Kabupaten Ciamis, yang terdiri dari tiga RW dan dua belas RT. Sebagai komunitas agraris, hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di sini sangat kuat, sehingga persoalan warisan menjadi isu penting dalam menjaga keharmonisan dan keadilan sosial di antara anggota keluarga.
Pentingnya Pemahaman Hukum Waris
Hukum waris Islam (faraid) menyediakan kerangka pembagian harta yang detail, mulai dari hak-hak furud (bagian tertentu) hingga ashabah (kelompok ahli waris yang mengambil sisa). Belum semua lapisan masyarakat memahami aturan ini sepenuhnya, sehingga penelitian kualitatif melalui studi kasus diharapkan dapat memperjelas pelaksanaan hukum waris dalam konteks kehidupan nyata masyarakat Dusun Cipurut.
Temuan Utama
Pembagian Warisan Kasus Pertama
Dalam satu kasus, seorang perempuan meninggal dan meninggalkan suami serta tiga anak laki-laki. Berdasarkan hukum waris Islam, ketiga anak laki-laki mendapatkan dua pertiga bagian harta, sementara suami memperoleh setengah bagian dari sisa harta setelah hak anak-anak terpenuhi. Persentase pembagian ini menegaskan keberadaan aturan dzaul furudh (ahli waris dengan bagian tertentu) dan ashabah binafsi yang berlaku di Dusun Cipurut.
Hak Anak Laki‑Laki dan Suami
Pembagian untuk anak laki‑laki sebagai ahli waris utama disesuaikan dengan firman dalam surat An‑Nisa ayat 11 yang menjelaskan bagian keturunan, sedangkan hak suami tercatat dalam dalil yang menetapkan suami menerima setengah apabila tidak ada ahli waris lain seperti orang tua almarhumah.
Pembagian Warisan Kasus Kedua
Kasus lain melibatkan seorang laki‑laki yang wafat meninggalkan istri, dua anak laki‑laki, dan satu anak perempuan. Penelitian menemukan bahwa dua anak laki‑laki masing‑masing mendapat bagian dua pertiga, sedangkan anak perempuan berstatus ashabah ma’a al‑ghair yang mengambil sisa harta setelah dzaul furudh selesai dibagikan. Istri dari almarhum tidak mendapatkan bagian karena telah menjalani proses waris atas harta suami sesuai fatwa dan praktik setempat.
Makna Ashabah ma’a al‑ghair
Ashabah ma’a al‑ghair adalah kelompok ahli waris yang menerima sisa harta bersama ahli waris lain yang tidak mengambil sisa, seperti anak perempuan dan cucu yang tidak termasuk dalam dzaul furudh. Temuan ini menegaskan pemahaman masyarakat Dusun Cipurut terhadap pentingnya memposisikan setiap ahli waris sesuai derajatnya.
Implikasi Sosial dan Hukum
Meningkatkan Kepatuhan Hukum Islam
Hasil penelitian membuktikan bahwa masyarakat Dusun Cipurut sangat menghormati aturan hukum waris Islam, menjadikan ketentuan dzaul furudh dan ashabah sebagai panduan utama dalam pembagian harta. Hal ini mencerminkan kedisiplinan komunitas dalam menerapkan ajaran agama secara konsisten, sehingga potensi sengketa antar ahli waris dapat diminimalisir.
Peran Pemerintah dan Lembaga Agama
Berdasarkan rekomendasi peneliti, pemerintah daerah dan lembaga keagamaan perlu memperluas sosialisasi hukum waris melalui pelatihan, seminar, dan penyuluhan. Peningkatan pemahaman ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan hak dan kewajiban setiap anggota keluarga, sekaligus memperkuat rasa keadilan dalam pengelolaan harta waris.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Penelitian di Dusun Cipurut, Ciamis, menunjukkan bahwa praktik pembagian warisan yang berlangsung di masyarakat sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam. Strata ahli waris dengan bagian tertentu (dzaul furudh) dan kelompok yang mengambil sisa (ashabah) diterapkan secara jelas, sehingga mencerminkan kedewasaan masyarakat dalam memahami dan mengamalkan hukum agama.
Rekomendasi
Untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan hukum waris, disarankan agar pemerintah setempat bekerja sama dengan pesantren dan organisasi keagamaan mengadakan program penyuluhan reguler. Program ini dapat mencakup simulasi pembagian warisan dan penjelasan dalil Al‑Quran serta Hadis yang mendasari setiap ketentuan faraid, sehingga kesadaran hukum waris di level desa semakin mendalam.
Dengan semakin banyaknya masyarakat yang memahami hak dan kewajiban mereka dalam pembagian warisan, diharapkan rasa keadilan dan kerukunan keluarga di Dusun Cipurut akan semakin terjaga, serta meminimalisir potensi konflik yang dapat merusak keharmonisan sosial setempat.
Posted by

comment 0 Comments
more_vert