Adam Aththaariq
6510051498749449419

Jurang Temu

Jurang Temu
Add Comments
Jumat, Maret 07, 2025

Gambar: PngEgg/Png-Bscuw

Izinkan aku bercerita tentang bagaimana aku mengenalmu, meski aku sendiri tak tahu dari mana aku harus memulai. Aku tak tahu bagaimana awal pertemuan kitu kala itu, bak senja yang perlahan merayap di langit sore, aku hanya teringat pada seseorang dengan senyumnya yang mampu membekukan waktu. Di balik kaca matanya, sayu matanya menjelma seperti melodi lembut yang enggan berlalu dari ingatanku.

Pertemuan kita bukanlah seperti kisah romansa dalam novel yang kerap kau baca kala senja. Tidak ada hujan yang mempertemukan kita di bawah payung yang sama, tidak ada buku yang terjatuh lalu kita raih bersama. Kita hanya dua orang asing yang dipertemukan oleh waktu di pagi bulan September, pagi yang cerah, seiring dengan suasana hatimu.

Aku masih mengingat jelas, di koridor kampus depan pintu kelasmu, kala itu kau tengah hanyut dalam riaknya cengkerama, tawa lepasmu menggema seperti denting piano yang menyusup dalam benakku, bibirmu yang naik turun, gigimu yang seputih salju, kerap terlihat saat hikayat jenaka sedang bergulir, saat kau menyadarinya, lembut tanganmu dengan sigap menutupi.

Aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan, terpaku, menikmati bagaiamana dunia seakan berputar mengelilingimu, meresapi setiap gerak-gerikmu, bak seorang pelukis aku tak ingin kehilangan detail dari lukisannya.

Aku pengecut.

Hanya bisa menikmati kehadiranmu dari kejauhan, tanpa berani mendekat, apalagi menyapa. Kau yang mengenakan pakaian rapi dengan sepatu putih bermerkmu tampak begitu sempurna, sementara aku hanyalah bayang-bayang yang tak mungkin kau sadari.

Aku pengecut.

Saat tatapan kita tanpa sengaja bertemu, aku segera mengalihkan pandangan, sementara kau menatapku dengan dingin. Wajar, pikirku, untuk sosok secantik dirimu.

Sejak saat itu, aku memilih untuk tak lagi berharap. Aku menenggelamkan diri dalam rutinitas yang membosankan, mengisi hari-hari dengan tugas kuliah tanpa pernah mencoba mendekatimu lagi. Hingga suatu hari, semesta seperti mengulur benang takdirnya, mempertemukan kita dalam satu ruang yang sama, hari di mana kau berdiri di depan kelas, menjelaskan materi presentasimu.

Hari itu adalah hari yang paling kuingat dari sekian banyaknya momen pertemuan denganmu, sebab pada hari itu adalah saat pertama kalinya aku bisa berbicara langsung denganmu, menatapmu lebih dekat hingga menikmati lembutnya lirih suaramu. Musabab kelas kita memang berbeda, sebab itu pula momen seperti ini jarang sekali aku rasakan.

Aku tak tahu harus bersyukur atau menyesal. Aku bersyukur karena akhirnya bisa mendengar lirih suaramu yang lembut, melihat bagaimana caramu berbicara dengan penuh percaya diri. Namun aku juga menyesal, karena semakin aku mengenalmu, semakin aku sadar bahwa aku hanyalah debu yang tersapu oleh cahayamu.

Seperti mahasiswa kritis lainnya, aku melontarkan banyak pertanyaan. Entah mengapa, aku ingin menjadi bagian dari ingatanmu, meski harus menjadi seseorang yang kau benci. Aku ingin kau mengingatku, walau hanya sebagai seseorang yang pernah menyudutkanmu dalam kelas.

Waktu terus berlalu, kita menjalani kehidupan masing-masing, aku dengan kesibukanku dan kau pun sebaliknya. Hingga waktu menyadarkanku bahwa hari itu adalah penghujung studiku. Aku termenung, kemudian berdamai dengan kenyataan, seharusnya aku tak mengenalmu.

Catatan:
Penulis memilih untuk menjaga anonimitas, karya ini tidak melalui proses penyuntingan. Hubungi kami jika ada kendala.