Penulis: Evi RahmawatiNotula: Salma Ramadhani E. P.
RUAS, Ciamis – Orasi ilmiah bertema Peran Pendidikan bagi Kaum Remaja dalam Menghadapi Post-truth, diadakan pada hari Kamis (13/02).
Kegiatan tersebut secara langsung diisi oleh Dr. Fajar Riza Ul Haq, M.A. alumni MAKN (sekarang: MAN) Darussalam Ciamis.
Prof. Dr. K.H. Fadlil Munawwar Manshur, M.S. mengungkapkan, acara ini juga merupakan syukuran atas dilantiknya Dr. Fajar Riza Ul Haq, M.A. sebagai wakil menteri.
Baca Juga: Hari Ulang Tahun Prof. Dr. Fadlil M.M., M.S., Semarakan Orasi Ilmiah
Dr. Fajar, M.A. yang juga sebagai Wamendikdasmen menyampaikan, bahwa dirinya merasa kembali teringat pada tahun 1995 saat pertama kali menginjakkan kaki di Darussalam.
Darussalam merupakan tempat yang diidam-idamkan nya semenjak SD, "saya sudah mengenal Darussalam ini semenjak SD, pak," ucap wamen tersebut.
Baginya, motto Darussalam merupakan hal yang visioner, "tanpa menjadi seorang santri, seorang aktifis yang diplomat, kita tidak bisa menjembatani berbagai persoalan," lanjutnya.
ERA POST-TRUTH (PASCA KEBENERAN)
Dalam orasinya, wamen itu mengungkapkan, "ahli sejarah, Yuval Nuah Harari mengatakan bahwa perkembangan artificial intelligence yang kita saksikan hari ini itu masih pada level paling dasar; level amoeba."
"Artinya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, mungkin dalam waktu kurang dari 5 tahun kita akan banyak menyaksikan kejutan-kejutan," sambungnya.
Menurut wamen tersebut, kalau kita hanya mengandalkan memori, kita akan kalah dengan kecerdasan buatan. Maka, kemampuan mengolah informasi, menganalisis suatu fenomena merupakan kecakapan paling dasar yang harus dikuasai oleh pemuda muslim.
"Selanjutnya, yang harus kita persiapkan adalah kemampuan berpikir kritis."
"Informasi yang kita konsumsi di media sosial adalah informasi yang cenderung misinformasi bahkan disinformasi. Ini adalah benih-benih dari munculnya post-truth," ucap alumni MAKN Darussalam itu.
Lalu, apa itu post-truth? "Post-truth adalah era di mana orang mengukur kebeneran berdasarkan emosi, berdasarkan sentimen, bukan berdasarkan fakta apalagi berdasarkan ilmu pengetahuan," tegasnya.
"Ciri lain dari post-truth adalah kita selalu mencari pembenaran dari apa yang kita yakini, dari apa yang kita pahami, bukan mencari kebenaran. Itu kata kuncinya," sambungnya.
Wamen Dikdasmen tersebut juga menyinggung mengenai musim politik, "misalnya saat pilpres, biasanya perang opini dan perang broadcast di media sosial. Untuk memenangkan pilihannya masing-masing."
"Kalau kita mendukung pasangan A, maka kita akan terus mengakumulasi argumentasi yang mendukung pasangan A, kita akan menolak argumentasi yang tidak mendukung si A. Lama-lama kita hidup di dalam dunia yang namanya echo chamber (ruang gema)"
"Kita masuk ke dalam ruangan yang kedap suara, tidak lagi mendengar suara di luar ruangan itu. Itulah gambaran ketika orang terinfeksi penyakit post-truth."
Wamen tersebut juga menyampaikan, "di dalam Al-Qur'an: "ja`akum fasiqum binaba`in fatabayyanu," itu semacam ilustrasi, jika kita mendapatkan satu informasi yang masih sumir, belum jelas, maka kita harus mengklarifikasi, bertanya. Sayangnya banyak orang yang tidak paham tapi tidak bertanya."
"Kalau dalam keaagamaan, muncul namanya paham takfiri, paham yang suka mengkafirkan orang lain, paham yang suka menyesatkan orang lain," lanjutnya.
"Kita tahu, prinsip jurnalisme itu adalah bad news is good news, selalu berita yang akan viral, yang akan ramai, yang jadi trending adalah berita-berita yang cenderung negatif," tegasnya lebih lanjut.
"Tapi hal-hal yang sifatnya kebaikan, positif, dianggap tidak nendang, bukan good news itu."
"Oleh karena itu, perlu keterampilan untuk memilah informasi yang kita baca, yang kita terima," ungkap nya.
Ia juga menegaskan, "kita diajarkan untuk selalu bertanya dan ragu, terhadap informasi yang sampai kepada kita. Itu membangun berpikir ilmiah di lingkungan pendidikan."
TIGA FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERILAKU
Dr. Fajar, M.A. juga memaparkan mengenai 3 faktor yang memengaruhi perilaku dari segi menolak, dan menerima suatu kebijakan.
Pertama, paham keagamaan. Paham keagamaan yang konservatif akan memengaruhi cara mengambil suatu tindakan.
Kedua, referensi politik atau keberpihakan politik. Jika seseorang mendukung satu tokoh, maka kita akan mendukung kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh tokoh tersebut, dan sebaliknya.
Ketiga, persaingan sumber informasi. Sumber informasi yang dibaca, akan menentukan pilihan seseorang, jika seseorang membaca sumber yang anti covid maka seseorang akan cenderung anti covid, begitupun sebaliknya.
Menurut Dr. Fajar, M.A., tiga faktor ini dapat diaplikasikan kepada isu-isu yang lebih luas dalam kehidupan.
Maka, beliau memaparkan untuk membaca dari berbagai sumber dan aliran pemikiran. Disertai dari tokoh-tokoh yang kompeten, dari pendapat-pendapat yang mutawatir.
Dengan begitu, akan membuka spektrum pemikiran yang lebih luas.
comment 0 Comments
more_vert