Penulis: Adam Aththaariq
Tepat malam Sabtu, pukul 19.30, aku tiba di kampus. Ada agenda yang harus ditunaikan. Seperti biasa, terlebih dahulu aku melangkah ke warung kelontong untuk memesan kopi hangat. Setelah itu, tubuhku yang lelah membiarkan diri setengah berbaring di kursi kayu di depan warung. Helaan asap tembakau menemani perjalanan lima puluh menit yang baru saja berakhir.
Helaan ketiga belas.
"Tring."
Sebuah notifikasi memecah sunyi dari gawai di saku.
"Kamu di mana? Saya udah nunggu lama di dekat kantor pos."
Rasa penasaran bergejolak. Jempolku bergerak membalas pesan misterius itu.
"Maaf, ini siapa?"
Waktu bergulir. Satu menit. Lima menit. Dua belas menit berlalu.
Diam.
Tidak ada balasan.
Aku berpikir, mungkin ini hanya pesan salah kirim. Namun, tepat ketika asumsi aku hendak mengendap, pesan lain muncul.
"Kamu ini, Dam. Jangan pura-pura. Cepat ke sini, atau saya…"
Kata-katanya terpotong. Ganjil. Mungkinkah ini ulah teman iseng yang mencoba mengerjai aku?
Dengan santai, aku menutup layar gawai tanpa menanggapi. Tiga puluh menit kemudian.
Langkah berat menghentak jalanan. Seseorang mendekat. Seorang pria berbadan besar, kulit legam, mengenakan jaket kulit hitam. Usianya kira-kira tiga puluh tahun. Matanya tajam menusuk.
"Kenapa kamu nggak bales chat saya?"
Gemetar, aku duduk tegak.
"Ma-maaf, Pak. Bapak siapa, ya?"
Wajah pria itu mendekat, matanya melotot, rahangnya mengeras, otot-otot di lehernya menegang, seolah-olah hendak menghantam.
"Brak!"
Satu pukulan telak menghantam wajahku. Membuat dunia berputar liar. Nafasku terhenti, dan suara itu mendesis tepat di telinga.
"Bangun."
Aku terperanjat. Pemilik warung kelontong berdiri dengan senyum lelah di hadapanku.
"Waktunya tutup, Mas."
Mata aku terpaku pada layar gawai. Notifikasi pesan tertimbun sejak pukul 21.00.
"Kamu di mana, Dam? Ini acara udah mau mulai."
Karya ini telat terbit di series Serpihan Angan yang Abstrak
comment 0 Comments
more_vert